Selamat datang, lindungi harta benda anda dgn asuransi pilihan tanyakan dengan admin ? yang mau kirim artikel untuk ditayangkan diperkenan dan laporkan apabila ada link yang rusak atas kunjungan dan kerjasama anda diucapkan terima kasih

Minggu, 03 Agustus 2014

Mampukah Brasil Bangkit di Tangan Dunga?

AP Photo/Felipe DanaKursi pelatih Brasil tak dibiarkan lama kosong. Setelah Luiz Felipe Scolari mengundurkan diri menyusul kegagalan di Piala Dunia 2014, Carlos Dunga segera ditunjuk untuk menggantikannya. Sosok Dunga sangat dekat dengan Brasil setidaknya dalam dua dekade terakhir.

Dunga merupakan kapten Brasil yang mengangkat trofi Piala Dunia 1994 di Amerika Serikat. Empat tahun kemudian dia masih memimpin skuat Brasil yang melaju hingga ke final Piala Dunia sebelum dikalahkan tuan rumah, Prancis, dengan tiga gol tanpa balas. Dia juga sempat menukangi tim Samba medio 2006 hingga 2010.

Dengan kedekatan seperti itu, tentu memunculkan pertanyaan, mampukah tangan dingin Dunga menjadi solusi atas segala masalah Brasil? Tentu banyak pendukung Brasil ingin segera melihat idolanya kembali menjadi tim besar yang disegani dan tak jadi bahan olok-olok.

Bukan pekerjaan mudah membangkitkan moral pemain Brasil
Pekerjaan Dunga jelas tak akan mudah. Selain gagal meraih gelar juara dunia di rumah sendiri, Brasil tersingkir dengan memalukan setelah kalah telak 1-7 dari Jerman yang kemudian berhasil menjadi juara. Tak hanya itu, Brasil kembali kalah memalukan 0-3 dari Belanda dalam perebutan tempat ketiga. Mengakhiri turnamen dengan dua rekor, kekalahan 1-7 tercatat sebagai selisih kemenangan terbesar di semi final sepanjang sejarah Piala Dunia dan kebobolan 12 gol merupakan yang terbanyak di edisi kali ini.

AP Photo/Natacha PisarenkoAP Photo/Natacha Pisarenko

Moral pemain Brasil jelas ambruk. Dunga rasanya tak akan banyak melakukan perombakan skuat mengingat tim yang dibawa Scolari berisi pemain yang sedang bersinar meski dikritik karena meninggalkan Ronaldinho, Kaka, Pato, Robinho, maupun Lucas Moura. Oleh karenanya, sebagian pemain yang akan dilatihnya merupakan warisan Big Phil yang moralnya sedang hancur setelah mengalami salah satu Piala Dunia paling memalukan bagi negeri sepak bola itu.

Tapi, Dunga punya pengalaman yang cukup bagus perihal membangkitkan moral tim yang sedang terpuruk. Pertama, tentu karir panjangnya menjelajah berbagai negeri orang untuk bermain sepak bola memberinya pengalaman berarti untuk tahu berbagai karakter. Kedua, jelas pengalamannya ketika menukangi Brasil rentang 2006 hingga 2010.

Menjelajah Eropa dan Asia
Sebagai pesepak bola, pria kelahiran Ijui, 31 Oktober 1961, ini memulai karir di Internacional Porto Alegre. Dia mampu menjuarai tiga gelar berturut-turut, 1982-1984. Setelah meraih gelar ketiganya, Dunga hijrah ke Corinthians dan bertahan selama dua musim sebelum akhirnya memutuskan menandatangani kontrak dengan Santos dan Vasco da Gama.

Tahun 1987, untuk pertama kalinya Dunga merasakan atmosfer sepak bola Eropa dengan bergabung bersama Pisa di Italia. Dia kemudian bermain untuk Fiorentina selama empat musim dengan pencapaian terbaiknya membawa klub dari Firenze itu melaju hingga final Piala UEFA.

Setelah sempat bermain di Pescara, Dunga mencoba bermain di Jerman dengan bergabung VfB Stuttgart hingga akhirnya memutuskan pindah ke Jepang pada 1995. Kala itu negeri matahari terbit belum memiliki kompetisi seketat dan cukup populer seperti sekarang ini, tapi Dunga yakin memilih Jubilo Iwata dan bermain hingga 1998 sebelum akhirnya memutuskan kembali ke International hingga pensiun tahun 2000.

Walaupun tak bergelimang medali di tingkat klub, Dunga selalu menjadi pilihan utama di tim yang dibelanya. Semasa bermain dia dikenal sebagai gelandang bertahan yang agresif dengan kemampuan bertahan bagus dan menyeimbangkan tim. Dia juga jadi pilihan di tim nasional sampai jurnalis menyebut Brasil dengan “Era Dunga” lantaran gaya lambat dan bertahan ketika Dunga memimpin lini tengah tim Samba yang menjuarai Piala Dunia 1994.

Pernah membangkitkan Brasil
Setelah pensiun, Dunga sempat ditawari melatih timnas menggantikan Vanderlei Luxemburgo. Namun, Dunga menolak dengan alasan tidak suka dengan cara CBF, federasi sepak bola Brasil, mengelola organisasi.

Baru pada 24 Juli 2006, Dunga akhirnya benar-benar melatih Selecao setelah penampilan mengecewakan di Piala Dunia 2006. Di Jerman, anak asuh Carlos Alberto Parreira yang bertabur bintang seperti Ronaldo, Rivaldo, Ronaldinho, dan Kaka kandas di perempat final setelah kalah dari Prancis.

Penunjukkan Dunga ketika itu menimbulkan kritik lantaran sang pelatih belum pernah punya pengalaman melatih. Tapi, pemain yang pernah terlibat pertengkaran dengan Bebeto di Piala Dunia 1998 saat melawan Maroko itu membuktikan kualitasnya dengan memenangi empat pertandingan dari lima laga yang dia mainkan. Brasil dibawanya meraih gelar Copa America 2007 setelah skuat yang dibilang lemah kala itu mengalahkan tim favorit Argentina dengan skor meyakinkan 3-0 berkat kegemilangan Robinho. Dua tahun kemudian di Afrika Selatan, Piala Konfederasi berhasil diraih usai mengalahkan Amerika Serikat 3-2.

Namun, saat tampil di turnamen terakbar, Brasil melempem. Dunga sempat dikritik dalam pemilihan pemain. Salah satunya dari Pele yang menyebut Dunga tak melakukan tugasnya dengan baik dengan tidak menyertakan Pato dan Neymar di Piala Dunia 2010. Nasib buruk pun akhirnya menghampiri. Setelah kalah 1-2 dari Belanda di perempat final, Dunga didepak. Dia sempat memimpin Brasil dalam 60 pertandingan dengan memenangi 42 laga, bermain imbang di 12 kesempatan, dan 6 kali kalah.

Tugasnya kini tak terlalu berbeda dengan delapan tahun lalu. Dia harus bisa mengangkat moral Brasil yang tengah terpuruk. Juga membantu CBF untuk memperbaiki sistem pembinaan pemain muda, kompetisi, serta bagaimana menjalankan program untuk tim nasional mengingat kegagalan Brasil disebabkan oleh berbagai faktor yang saling berkaitan.

Belum melatih, sudah banyak kritik yang dialamatkan padanya. Selama melatih, gaya bermain Dunga dianggap terlalu pragmatis dan jauh dari sepak bola atraktif yang selama ini menjadi ciri khas Brasil. Jadi, jika Dunga melatih kita tetap tak akan melihat Brasil memainkan jogo bonito.

Tapi, Brasil secara keseluruhan memang sedang krisis. Selain tak banyak pemain hebat seperti ketika memenangi Piala Dunia 2002, Anda tentu bisa membayangkan jomplangnya kualitas antara Ronaldo yang menjadi top skor di Korea Selatan dan Jepang dengan Fred yang dipilih hanya karena dia lebih baik dari Jo, penyerang cadangan. Brasil pun kini tak banyak punya pelatih bertangan dingin bereputasi dunia. Makanya sempat ada kabar CBF menjajaki kemungkinan Jose Mourinho melatih Brasil. Argentina yang menjadi rival pun punya pelatih muda sukses seperti Diego Simeone. Jadi, Brasil perlu melakukan banyak perubahan agar masih layak disebut sebagai negerinya sepak bola.

Selamat bekerja Dunga. Tugas berat menantimu. Fakta menunjukkan melatih Brasil tak pernah mudah apalagi di situasi serba sulit seperti saat ini. Jika Piala Dunia 2018 di Rusia menjadi target utama, tentu mereka akan dibebani mitos bahwa peringkat empat edisi sebelumnya akan sulit bersinar seperti yang dialami Korea Selatan 2002, Portugal 2006, dan Uruguay 2010. sumber :https://id.olahraga.yahoo.com/blogs/arena/mampukah-brasil-bangkit-di-tangan-dunga-054035165-soccer.html

Tidak ada komentar:

Pengikut