Pelaku Perbankan Berharap Pengawasan OJK Lebih Terintegrasi
Bisnis perbankan tidak bisa dipisahkan dengan industri keuangan lain.
VIVAnews
- Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kini memasuki babak baru dalam
menyempurnakan tugas pokok dan fungsinya. Pada akhir tahun lalu, 31
Desember 2013, tugas pengawasan perbankan resmi dialihkan dari Bank
Indonesia ke OJK.
Tidak hanya fungsinya, tapi seluruh infrastruktur penunjang pengawasan perbankan, kini menjadi tanggung jawab OJK. Tugas OJK pun semakin lengkap.
Tidak hanya fungsinya, tapi seluruh infrastruktur penunjang pengawasan perbankan, kini menjadi tanggung jawab OJK. Tugas OJK pun semakin lengkap.
OJK kini menjadi "super
body" yang melakukan pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa
keuangan di sektor perbankan, pasar modal, dan industri keuangan non
bank. Tak tanggung-tanggung, nilai aset keuangan yang diawasi mencapai
sekitar Rp11.000 triliun.
Bagaimana kesiapan OJK menjalankan amanat pengawasan tersebut? Upaya apa yang telah dan akan dilakukan guna memperkuat keorganisasian OJK dalam memikul tanggung jawab besar tersebut?
Bagaimana kesiapan OJK menjalankan amanat pengawasan tersebut? Upaya apa yang telah dan akan dilakukan guna memperkuat keorganisasian OJK dalam memikul tanggung jawab besar tersebut?
Saat berkunjung ke kantor VIVA.co.id,
Jumat 27 Desember 2013, Ketua Dewan Komisioner OJK, Muliaman D. Hadad,
memaparkan kesiapan dan rencana ke depan lembaga yang dipimpinnya
tersebut.
Lahir di Bekasi, Jawa Barat, pada 3 April 1960, lulusan sarjana ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1984 ini, juga menjelaskan kegiatan OJK selama masa transisi 2013. Berikut petikan wawancara dengan mantan deputi gubernur Bank Indonesia itu:
Apa yang sudah dilakukan dalam penguatan organisasi OJK?Sepanjang 2013 kegiatan OJK itu sangat padat. Ada banyak kegiatan. Karena, kami baru beroperasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa OJK itu beroperasi bertahap. Pada tahun 2014 masuk pengawasan bank. Pada 2013 mulai pengawasan pasar modal dan industri keuangan non bank.
Sebagai organisasi baru, bukan hanya pekerjaan menghadapi industrinya. Ke dalam, kami juga membangun rumah, kamar-kamarnya, aksesorinya, sehingga betul-betul membangun organisasi ini sebagai organisasi baru. Dari yang paling sederhana, disiplin pegawai, aturan logistik, teknologi informasi, sampai aturan-aturan memperbaiki kualitas pengawasan industri keuangan.
Tantangan besar OJK selama masa transisi?
Ada dua tantangan besar bagi OJK. Pertama, membangun lembaga baru dari dalam, jadi lebih banyak konsolidasi internal. Dan, kedua, tugas-tugas terkait keinginan untuk memperbaiki pengawasan. Ada ekspektasi luar biasa dari masyarakat, yakni pengawasan industri pasar modal, asuransi, dan perbankan.
Dan, UU OJK mengamanatkan, bukan cuma pengawasannya, tapi mengedukasi masyarakat dan melindungi kepentingan nasabah atau konsumennya. Jadi, tiga area ini yang betul-betul mewarnai kegiatan kami selama 2013.
Bagaimana dengan kesiapan sumber daya manusianya?
Modal awal tenaga kerja atau SDM kami dari Kemenkeu sebanyak 800 orang. Kemudian, kami mencoba merumuskan postur organisasi, struktur organisasi, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Lalu, bagaimana mengisinya, keterampilan seperti apa saja yang diperlukan. Itu betul-betul menjadi pekerjaan yang menurut saya menyita banyak waktu.
Tentu saja, selama masa beres-beres, sebagai organisasi baru, pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal, terutama pada 2013, tentu saja tidak boleh dikorbankan. Karena itu, aktivitas ini yang betul- betul menjadi dua pekerjaan besar selama 2013.
Tapi, alhamdulillah, selama satu tahun, semuanya hampir beres. Dalam artian, struktur organisasi sudah selesai. Sebagai organisasi, OJK sudah lengkap. Kami sudah punya perangkat yang meyakini governance di OJK sudah kuat. Mulai auditnya, komite etiknya, whistleblower system sudah kami dorong sedemikian rupa, sehingga sebagai organisasi rasanya sudah siap.
Kami paham betul, tidak berhenti sampai di sini, perjalanan masih panjang. Kebutuhan untuk perbaikan ke depan masih sangat diperlukan. Karena itu, upaya ini terus menjadi agenda yang kami sebut manajemen perubahan.
Kan kami datang dari dua sumber. Pada 2014, SDM dari Bank Indonesia ada 1.200 orang, ditambah sebelumnya dari Kemenkeu 800 orang, jadi 2.000 orang. Kami pun akan menerima 500 orang. Jadi, ada 2.500 orang dari sumber yang berbeda.
OJK tidak kewalahan mengelola SDM dari instansi yang berbeda?Karena itu, ini rasanya jadi tantangan kami 1-2 tahun ke depan. Bagaimana menyatukan ini dalam visi dan misi yang jelas, bagaimana ada semacam perasaan satu keluarga. Karena, kami juga tidak mau satu rumah, tapi hidup di kamar sendiri-sendiri. Jadi, betul-betul harus memahami visi-misi, sehingga organisasi ini bisa jalan.
Ini sangat diperlukan, karena pengembangan yang baik sangat ditentukan dengan kemampuan internal yang baik. Sebelum pengawasan yang baik, tentu saja ke dalamnya harus betul-betul solid. Nah, yang saya ingin janjikan itu. Tentu saja, konsolidasi internal akan terus berlanjut. Sampai nantinya akan betul-betul memiliki kultur baru OJK, yang kami harapkan cocok dengan tugas-tugas yang baru.
Terkait tugas pokok dan fungsi, bagaimana pendekatan yang dilakukan OJK?Terkait pekerjaan keluar ada dua. Pertama, terkait dengan perbaikan pengawasan di pasar modal, perbankan, dan asuransi. Nah, tiga bidang ini yang menurut saya pendekatannya tidak sama. Kalau di bank dan asuransi pendekatannya relatif sama, karena mereka lembaga keuangan yang dititipi uang untuk dikelola. Jadi, semacam depository institution.
Lahir di Bekasi, Jawa Barat, pada 3 April 1960, lulusan sarjana ekonomi dari Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia pada 1984 ini, juga menjelaskan kegiatan OJK selama masa transisi 2013. Berikut petikan wawancara dengan mantan deputi gubernur Bank Indonesia itu:
Apa yang sudah dilakukan dalam penguatan organisasi OJK?Sepanjang 2013 kegiatan OJK itu sangat padat. Ada banyak kegiatan. Karena, kami baru beroperasi. Sebagaimana kita ketahui bahwa OJK itu beroperasi bertahap. Pada tahun 2014 masuk pengawasan bank. Pada 2013 mulai pengawasan pasar modal dan industri keuangan non bank.
Sebagai organisasi baru, bukan hanya pekerjaan menghadapi industrinya. Ke dalam, kami juga membangun rumah, kamar-kamarnya, aksesorinya, sehingga betul-betul membangun organisasi ini sebagai organisasi baru. Dari yang paling sederhana, disiplin pegawai, aturan logistik, teknologi informasi, sampai aturan-aturan memperbaiki kualitas pengawasan industri keuangan.
Tantangan besar OJK selama masa transisi?
Ada dua tantangan besar bagi OJK. Pertama, membangun lembaga baru dari dalam, jadi lebih banyak konsolidasi internal. Dan, kedua, tugas-tugas terkait keinginan untuk memperbaiki pengawasan. Ada ekspektasi luar biasa dari masyarakat, yakni pengawasan industri pasar modal, asuransi, dan perbankan.
Dan, UU OJK mengamanatkan, bukan cuma pengawasannya, tapi mengedukasi masyarakat dan melindungi kepentingan nasabah atau konsumennya. Jadi, tiga area ini yang betul-betul mewarnai kegiatan kami selama 2013.
Bagaimana dengan kesiapan sumber daya manusianya?
Modal awal tenaga kerja atau SDM kami dari Kemenkeu sebanyak 800 orang. Kemudian, kami mencoba merumuskan postur organisasi, struktur organisasi, sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai. Lalu, bagaimana mengisinya, keterampilan seperti apa saja yang diperlukan. Itu betul-betul menjadi pekerjaan yang menurut saya menyita banyak waktu.
Tentu saja, selama masa beres-beres, sebagai organisasi baru, pengawasan lembaga keuangan dan pasar modal, terutama pada 2013, tentu saja tidak boleh dikorbankan. Karena itu, aktivitas ini yang betul- betul menjadi dua pekerjaan besar selama 2013.
Tapi, alhamdulillah, selama satu tahun, semuanya hampir beres. Dalam artian, struktur organisasi sudah selesai. Sebagai organisasi, OJK sudah lengkap. Kami sudah punya perangkat yang meyakini governance di OJK sudah kuat. Mulai auditnya, komite etiknya, whistleblower system sudah kami dorong sedemikian rupa, sehingga sebagai organisasi rasanya sudah siap.
Kami paham betul, tidak berhenti sampai di sini, perjalanan masih panjang. Kebutuhan untuk perbaikan ke depan masih sangat diperlukan. Karena itu, upaya ini terus menjadi agenda yang kami sebut manajemen perubahan.
Kan kami datang dari dua sumber. Pada 2014, SDM dari Bank Indonesia ada 1.200 orang, ditambah sebelumnya dari Kemenkeu 800 orang, jadi 2.000 orang. Kami pun akan menerima 500 orang. Jadi, ada 2.500 orang dari sumber yang berbeda.
OJK tidak kewalahan mengelola SDM dari instansi yang berbeda?Karena itu, ini rasanya jadi tantangan kami 1-2 tahun ke depan. Bagaimana menyatukan ini dalam visi dan misi yang jelas, bagaimana ada semacam perasaan satu keluarga. Karena, kami juga tidak mau satu rumah, tapi hidup di kamar sendiri-sendiri. Jadi, betul-betul harus memahami visi-misi, sehingga organisasi ini bisa jalan.
Ini sangat diperlukan, karena pengembangan yang baik sangat ditentukan dengan kemampuan internal yang baik. Sebelum pengawasan yang baik, tentu saja ke dalamnya harus betul-betul solid. Nah, yang saya ingin janjikan itu. Tentu saja, konsolidasi internal akan terus berlanjut. Sampai nantinya akan betul-betul memiliki kultur baru OJK, yang kami harapkan cocok dengan tugas-tugas yang baru.
Terkait tugas pokok dan fungsi, bagaimana pendekatan yang dilakukan OJK?Terkait pekerjaan keluar ada dua. Pertama, terkait dengan perbaikan pengawasan di pasar modal, perbankan, dan asuransi. Nah, tiga bidang ini yang menurut saya pendekatannya tidak sama. Kalau di bank dan asuransi pendekatannya relatif sama, karena mereka lembaga keuangan yang dititipi uang untuk dikelola. Jadi, semacam depository institution.
Lembaga-lembaga seperti
ini yang harus kami pastikan menerapkan prinsip-prinsip kehati-hatian di
dalam mengelola perusahaannya. Tentu saja, ini penting dalam satu set of rules pengawasan lembaga ini, sebagai prudential regulation. Mengapa ini kami harus terus tanamkan? Karena, kami ingin perlindungan masyarakat tetap terjaga.
Kedua, lembaga ini dikelola secara profesional dengan orang-orang memenuhi fit and proper test
di bidangnya, serta memiliki kebijakan investasi yang jelas dengan
menggunakan manajemen risiko yang baik. Jadi, peraturan yang sama dan
harus diterapkan secara konsisten.
Kami sekarang, menurut
saya, diuntungkan, karena mengawasi seluruh sektor keuangan. Tidak ada
istilahnya celah lubang. Dulu kan sektor keuangan dibagi dua, asuransi
dan lembaga keuangan diawasi Bapepam-LK, perbankan diawasi BI.
Jadi, kalau di satu sisi sedang diperiksa, barang busuknya ditaruh di tempat lain. Dilempar-lempar. Beberapa kasus seperti Antaboga kan seperti itu, jenis kelaminnya apa ini? Jadi, sering banget terjadi. Nah, sekarang, OJK memiliki kesempatan baik, karena mengawasi dua sisi ini. Ibarat radar, semuanya kepotret.
Itu keuntungannya OJK, yang harus direalisasikan dalam bentuk perbaikan pengawasan nantinya. Karena, kami bisa mengawasi seluruhnya. Apalagi kalau ada pihak yang terkait, kalau sebelumnya ada tembok, sekarang kami bisa awasi. Itu yang kami sebut pengawasan terintegrasi.
Bagaimana mewujudkan pengawasan terintegrasi itu? Nah, amanat UU OJK itu di antaranya bagaimana dapat melakukan pengawasan terintegrasi di sektor keuangan. Mengingat, sekarang sangat nyata, kecenderungan grup bisnis berkembang. Sekarang, hampir setiap bank memiliki anak perusahaan, dan anak perusahaan itu dalam bentuk asuransi, perusahaan pembiayaan, dan sebagainya.
Jadi, sebetulnya mereka ini dimiliki orang yang sama. Karena itu, anak perusahaan dan induknya saling kait mengait, sehingga perhatian tidak hanya melulu ke banknya. Seolah-olah, seperti bank dan asuransi terpisah.
Yang kami lakukan, bagaimana bisa mengawasi bank sebagai induk. Juga, yang akan ditentukan keberhasilan bisnis ini dari kesehatan anak-anak usahanya. Jadi, jangan sampai bank ini rusak, karena ditarik ke bawah dengan rusaknya anak-anak perusahaannya. Itu terjadi di banyak negara, termasuk belakangan di Eropa. Ketika kemudian anak-anak perusahaan ini membuat induknya masuk ke bawah.
Di OJK, kami mencoba melihat ini dalam "gambar" yang lebih luas, sehingga keterkaitan sektor ini bisa diidentifikasi satu sama lain. Saat ini, bicara angka, kalau digabung sudah mencapai 70 persen dari total industri keuangan. Jadi, 70 persen saling kait mengait, sedangkan 30 persen berdiri sendiri. Artinya, perusahaan-perusahaan ini tidak ada hubungannya satu sama lain, stand alone company.
Jadi, sebenarnya, kalau kami bisa mengawasi seluruh grup ini, kemampuan dalam melihat industri keuangan secara keseluruhan akan semakin baik. Karena itu, yang ingin kami upayakan, bagaimana mengawasi industri keuangan ini dengan cara melihat keterkaitannya, sehingga dapat melihat potensi risiko. Apakah ada di banknya atau anak perusahaan.
Saat ini, kami belum punya pendekatan seperti itu, BI pun belum melakukannya. BI melihat bank sebagai suatu bank, asuransi sendiri, padahal ada keterkaitan. Sekarang, sedang kami coba, tentunya pengawasan standar. Apa yang sudah baik dilanjutkan dan yang belum baik diperbaiki.
Di UU, seluruh aturan dari Bapepam dan BI, otomatis masih berlaku sebelum OJK menyatakan tidak berlaku atau tidak berubah. Jadi, begitu 31 Desember 2013, aturan-aturan masih berlaku sebagaimana layaknya.
Pengawasan perbankan dari BI ke OJK nanti seperti apa?Persiapan sudah kami lakukan satu tahun ini, ada beberapa hal. Pertama, harus ada kejelasan dari BI dan OJK, ke depannya seperti apa dalam tataran operasional. Karena, BI mengurus persoalan makro, sedangkan OJK mikro. Tapi, kemudian, sebenarnya ini tidak bisa dipisahkan secara hitam putih. Akan ada banyak persinggungan-persinggungan.
Nah, itu bagaimana mengaturnya? Alhamdulillah telah kami sepakati, malah bukan hanya di tataran operasional, tapi juga kebijakan. Intinya, siapa saja yang mempunyai inisiatif untuk melakukan sesuatu, harus berkoordinasi.
Kemudian ada SOP (standard operating procedure)-nya. Kalau ada aturan yang diidentifikasi perlu diubah dan memiliki implikasi makro serta mikro, kami harus berkoordinasi. Jadi, istilahnya masing-masing punya tim bersama yang secara rutin melakukan pertemuan. Rasanya, itu sudah cukup untuk melandasi kerja sama dengan BI ke depan.
Kedua, kami dengan BI juga sepakat mengenai data dan informasi. Sebab, kami berdua bekerja berdasarkan informasi yang tersedia. Kalau terganggu, tentu saja akan mengganggu kinerja. Kami sepakat, data ini bisa diakses full berdua, dengan jaringan IT sendiri-sendiri tentu saja.
Jadi, ada semacam pulau data, kami berdua dengan BI masuk tidak ada masalah. Tapi, kalau ditanya ini milik siapa, pemilik data itu OJK kalau berdasarkan undang-undang. Karena, itu laporan bulanan bank. Tapi, dengan BI sepakat, meskipun milik OJK, tetap bisa diakses sama-sama. Ini penting betul, sebab kalau BI merasa tidak punyak akses, ya tujuannya tidak akan tercapai.
Sekarang, persoalannya, ini kan masih pakai infrastruktur BI. Karena, OJK kan belum membangun, jadi kami sepakati jalur-jalur itu dipakai OJK. Tentu saja dengan cost sharing, jadi ada semacam kesepakatan itu.
Ketiga, soal gedung. Seluruh fasilitas terkait pengawasan dialihkan ke OJK. Jadi, kalau gedungnya untuk pengawasan, ya dialihkan ke OJK. Tapi, tetap milik BI. Jadi, kami dipinjamkan saja, sampai nantinya punya infrastruktur sendiri. Nah, itu sudah kami sepakati termasuk perawatannya.
Jadi, kalau ditanya di mana alamat OJK saat ini, ya di gedung-gedung BI. Baik di Jakarta maupun seluruh Tanah Air per 31 Desember 2013. Mulai Banda Aceh, sampai Papua, kami menempati sebagian kantor BI di daerah. Ini juga sudah diinformasikan kepada industri. Karyawan OJK dari BI pun sebenarnya tidak pindah ke mana-mana. Masih di kursi yang sama, ruangan sama, cuma lapornya beda.
Bagaimana pula dengan penguatan fungsi OJK di daerah?Nantinya, tidak bisa terus-menerus menggunakan infrastruktur BI di daerah. Kami akan evaluasi, karena tidak setiap kantor BI di daerah memenuhi syarat. Sebagian kecil-kecil. Padahal, tugas OJK bukan hanya mengawasi bank.
Kami juga akan perkuat edukasi dan perlindungan konsumen atau nasabah. Kita semua tahu, investasi bodong justru banyak di daerah-daerah. Masyarakat yang memerlukan dukungan informasi dan edukasi, juga banyak di daerah-daerah. Jadi, penguatan itu juga akan dilakukan di OJK daerah.
Kemudian, di daerah, kami juga perkuat kemampuan pengawasan lembaga keuangan mikro. Nanti, pada 2015, OJK juga ditugasi mengawasi lembaga keuangan mikro. Tahu sendiri, lembaga ini jumlahnya saja tidak jelas, sekarang sedang kami sensus. Banyak sekali di seluruh Tanah Air.
OJK akan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan di daerah untuk mengatur hal itu. Bagaimana nanti cara mengawasinya, bikin sistemnya, laporannya, edukasinya, dan lain-lain. Selain itu, terkait pengembangan dan pembinaannya. Mau tidak mau, penguatan kantor-kantor OJK di daerah merupakan sesuatu yang mendesak.
Jadi, infrastruktur yang ada sekarang mungkin akan kurang atau bisa jadi cukup, tergantung kantor BI. Kalau ada kantor BI yang gede-gede, itu bisa kami pakai. Tapi, banyak juga kantor BI seperti di Kupang, Kediri, Palu, dan Mataram yang ruangannya terbatas.
Kendala yang masih dihadapi OJK?
Terkait dengan edukasi dan perlindungan konsumen, menurut saya ini cukup besar cakupan isunya. Karena, edukasi itu menjadi sangat mendasar. Masyarakat yang melek keuangan masih sangat minim.
Dari hasil survei kami, dari 100 orang hanya 22 yang tahu tentang industri keuangan. Kemudian, hanya 14 orang yang paham asuransi. Di bidang pasar modal lebih minimal lagi. Bahkan, perbandingan 4 dari 1.000 orang.
Kemudian, setelah paham kan tidak cukup. Kami masih punya banyak pekerjaan. Edukasi akan kami tingkatkan, dan aksesnya kami buka. Karena, di negara-negara seperti di Afrika, perbaikan akses keuangan sangat membantu pengentasan kemiskinan. Sekarang banyak terjadi perselisihan di sektor keuangan karena edukasinya lemah.
Jadi, kalau di satu sisi sedang diperiksa, barang busuknya ditaruh di tempat lain. Dilempar-lempar. Beberapa kasus seperti Antaboga kan seperti itu, jenis kelaminnya apa ini? Jadi, sering banget terjadi. Nah, sekarang, OJK memiliki kesempatan baik, karena mengawasi dua sisi ini. Ibarat radar, semuanya kepotret.
Itu keuntungannya OJK, yang harus direalisasikan dalam bentuk perbaikan pengawasan nantinya. Karena, kami bisa mengawasi seluruhnya. Apalagi kalau ada pihak yang terkait, kalau sebelumnya ada tembok, sekarang kami bisa awasi. Itu yang kami sebut pengawasan terintegrasi.
Bagaimana mewujudkan pengawasan terintegrasi itu? Nah, amanat UU OJK itu di antaranya bagaimana dapat melakukan pengawasan terintegrasi di sektor keuangan. Mengingat, sekarang sangat nyata, kecenderungan grup bisnis berkembang. Sekarang, hampir setiap bank memiliki anak perusahaan, dan anak perusahaan itu dalam bentuk asuransi, perusahaan pembiayaan, dan sebagainya.
Jadi, sebetulnya mereka ini dimiliki orang yang sama. Karena itu, anak perusahaan dan induknya saling kait mengait, sehingga perhatian tidak hanya melulu ke banknya. Seolah-olah, seperti bank dan asuransi terpisah.
Yang kami lakukan, bagaimana bisa mengawasi bank sebagai induk. Juga, yang akan ditentukan keberhasilan bisnis ini dari kesehatan anak-anak usahanya. Jadi, jangan sampai bank ini rusak, karena ditarik ke bawah dengan rusaknya anak-anak perusahaannya. Itu terjadi di banyak negara, termasuk belakangan di Eropa. Ketika kemudian anak-anak perusahaan ini membuat induknya masuk ke bawah.
Di OJK, kami mencoba melihat ini dalam "gambar" yang lebih luas, sehingga keterkaitan sektor ini bisa diidentifikasi satu sama lain. Saat ini, bicara angka, kalau digabung sudah mencapai 70 persen dari total industri keuangan. Jadi, 70 persen saling kait mengait, sedangkan 30 persen berdiri sendiri. Artinya, perusahaan-perusahaan ini tidak ada hubungannya satu sama lain, stand alone company.
Jadi, sebenarnya, kalau kami bisa mengawasi seluruh grup ini, kemampuan dalam melihat industri keuangan secara keseluruhan akan semakin baik. Karena itu, yang ingin kami upayakan, bagaimana mengawasi industri keuangan ini dengan cara melihat keterkaitannya, sehingga dapat melihat potensi risiko. Apakah ada di banknya atau anak perusahaan.
Saat ini, kami belum punya pendekatan seperti itu, BI pun belum melakukannya. BI melihat bank sebagai suatu bank, asuransi sendiri, padahal ada keterkaitan. Sekarang, sedang kami coba, tentunya pengawasan standar. Apa yang sudah baik dilanjutkan dan yang belum baik diperbaiki.
Di UU, seluruh aturan dari Bapepam dan BI, otomatis masih berlaku sebelum OJK menyatakan tidak berlaku atau tidak berubah. Jadi, begitu 31 Desember 2013, aturan-aturan masih berlaku sebagaimana layaknya.
Pengawasan perbankan dari BI ke OJK nanti seperti apa?Persiapan sudah kami lakukan satu tahun ini, ada beberapa hal. Pertama, harus ada kejelasan dari BI dan OJK, ke depannya seperti apa dalam tataran operasional. Karena, BI mengurus persoalan makro, sedangkan OJK mikro. Tapi, kemudian, sebenarnya ini tidak bisa dipisahkan secara hitam putih. Akan ada banyak persinggungan-persinggungan.
Nah, itu bagaimana mengaturnya? Alhamdulillah telah kami sepakati, malah bukan hanya di tataran operasional, tapi juga kebijakan. Intinya, siapa saja yang mempunyai inisiatif untuk melakukan sesuatu, harus berkoordinasi.
Kemudian ada SOP (standard operating procedure)-nya. Kalau ada aturan yang diidentifikasi perlu diubah dan memiliki implikasi makro serta mikro, kami harus berkoordinasi. Jadi, istilahnya masing-masing punya tim bersama yang secara rutin melakukan pertemuan. Rasanya, itu sudah cukup untuk melandasi kerja sama dengan BI ke depan.
Kedua, kami dengan BI juga sepakat mengenai data dan informasi. Sebab, kami berdua bekerja berdasarkan informasi yang tersedia. Kalau terganggu, tentu saja akan mengganggu kinerja. Kami sepakat, data ini bisa diakses full berdua, dengan jaringan IT sendiri-sendiri tentu saja.
Jadi, ada semacam pulau data, kami berdua dengan BI masuk tidak ada masalah. Tapi, kalau ditanya ini milik siapa, pemilik data itu OJK kalau berdasarkan undang-undang. Karena, itu laporan bulanan bank. Tapi, dengan BI sepakat, meskipun milik OJK, tetap bisa diakses sama-sama. Ini penting betul, sebab kalau BI merasa tidak punyak akses, ya tujuannya tidak akan tercapai.
Sekarang, persoalannya, ini kan masih pakai infrastruktur BI. Karena, OJK kan belum membangun, jadi kami sepakati jalur-jalur itu dipakai OJK. Tentu saja dengan cost sharing, jadi ada semacam kesepakatan itu.
Ketiga, soal gedung. Seluruh fasilitas terkait pengawasan dialihkan ke OJK. Jadi, kalau gedungnya untuk pengawasan, ya dialihkan ke OJK. Tapi, tetap milik BI. Jadi, kami dipinjamkan saja, sampai nantinya punya infrastruktur sendiri. Nah, itu sudah kami sepakati termasuk perawatannya.
Jadi, kalau ditanya di mana alamat OJK saat ini, ya di gedung-gedung BI. Baik di Jakarta maupun seluruh Tanah Air per 31 Desember 2013. Mulai Banda Aceh, sampai Papua, kami menempati sebagian kantor BI di daerah. Ini juga sudah diinformasikan kepada industri. Karyawan OJK dari BI pun sebenarnya tidak pindah ke mana-mana. Masih di kursi yang sama, ruangan sama, cuma lapornya beda.
Bagaimana pula dengan penguatan fungsi OJK di daerah?Nantinya, tidak bisa terus-menerus menggunakan infrastruktur BI di daerah. Kami akan evaluasi, karena tidak setiap kantor BI di daerah memenuhi syarat. Sebagian kecil-kecil. Padahal, tugas OJK bukan hanya mengawasi bank.
Kami juga akan perkuat edukasi dan perlindungan konsumen atau nasabah. Kita semua tahu, investasi bodong justru banyak di daerah-daerah. Masyarakat yang memerlukan dukungan informasi dan edukasi, juga banyak di daerah-daerah. Jadi, penguatan itu juga akan dilakukan di OJK daerah.
Kemudian, di daerah, kami juga perkuat kemampuan pengawasan lembaga keuangan mikro. Nanti, pada 2015, OJK juga ditugasi mengawasi lembaga keuangan mikro. Tahu sendiri, lembaga ini jumlahnya saja tidak jelas, sekarang sedang kami sensus. Banyak sekali di seluruh Tanah Air.
OJK akan bekerja sama dengan pemerintah daerah dan pemangku kepentingan di daerah untuk mengatur hal itu. Bagaimana nanti cara mengawasinya, bikin sistemnya, laporannya, edukasinya, dan lain-lain. Selain itu, terkait pengembangan dan pembinaannya. Mau tidak mau, penguatan kantor-kantor OJK di daerah merupakan sesuatu yang mendesak.
Jadi, infrastruktur yang ada sekarang mungkin akan kurang atau bisa jadi cukup, tergantung kantor BI. Kalau ada kantor BI yang gede-gede, itu bisa kami pakai. Tapi, banyak juga kantor BI seperti di Kupang, Kediri, Palu, dan Mataram yang ruangannya terbatas.
Kendala yang masih dihadapi OJK?
Terkait dengan edukasi dan perlindungan konsumen, menurut saya ini cukup besar cakupan isunya. Karena, edukasi itu menjadi sangat mendasar. Masyarakat yang melek keuangan masih sangat minim.
Dari hasil survei kami, dari 100 orang hanya 22 yang tahu tentang industri keuangan. Kemudian, hanya 14 orang yang paham asuransi. Di bidang pasar modal lebih minimal lagi. Bahkan, perbandingan 4 dari 1.000 orang.
Kemudian, setelah paham kan tidak cukup. Kami masih punya banyak pekerjaan. Edukasi akan kami tingkatkan, dan aksesnya kami buka. Karena, di negara-negara seperti di Afrika, perbaikan akses keuangan sangat membantu pengentasan kemiskinan. Sekarang banyak terjadi perselisihan di sektor keuangan karena edukasinya lemah.
sumber : http://analisis.news.viva.co.id/news/read/470722-wawancara-dengan--penguasa--baru-sektor-keuangan-indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar